Mezase! 5 – Karantina

_____ Fyu~~h, lega dikit akhirnya bisa duduk juga. Selama di bus, aku mengobrol ringan dengan mbak I yang sudah terlihat lelah setelah menyebrang lautan dan melewati sederetan tes COVID-19. Perjalanan dari bandara menuju hotel berlangsung kira-kira 10 menit. Tak banyak yang bisa kami lihat ataupun ceritakan dari pemandangan di balik jendela bus karena yang ada hanyalah padang rumput kecil yang ada di sekitar bandara beserta rambu dan bangunan-bangunan penunjang utilitas bandara, terlebih hari mulai larut karena sudah hampir pukul 7 malam. Sesampainya kami di hotel, kami turun dan mengucapkan terima kasih kepada kakek yang telah memandu kami dan membantu mengangkat-menurunkan barang bawaan yang tentunya super berat. Yoh, saatnya masuk hotel yang tampak megah ini, ANA Crowne Plaza Narita (gatau… dipilihinnya yang itu yah, bukan saya yang milih, toh dibayarin juga, hehe)

_____ Saat check-in, kita ditanyai seputar asal, tujuan, dan diminta untuk menunjukkan identitas, baik paspor maupun bukti check-in (surat dari kampus maupun lembaga pengampu selama di Jepang, dalam kasus aku, Tohoku University). Setelah mengurus berkas check-in dan dinyatakan OK untuk masuk, aku dan Mbak I menerima seperangkat alat tes COVID-19 kilat untuk dilakukan di hari ke-3 karantina. Karantina hari pertama baru dimulai terhitung keesokan harinya. Beberapa peraturan yang harus dipatuhi selama karantina antara lain:
1. Menjaga kebersihan dan kerapihan kamar hotel selama karantina (ini jelas lah ya, fix no debat)
2. Tidak pergi keluar dari bangunan, menggunakan fasilitas umum hotel seperti gym & kolam renang, dan hanya boleh berkeliling di lobby & konbini (lt.1) serta lantai tempat kamar kita berada (No nongki-nongki di lantai lain)
3. Tidak memasuki kamar orang lain
4. Apabila dirasa gejala COVID19, segera melapor ke petugas hotel dan nomor telpon klinik yg tertera di amplop (amit-amit jangan sampai)
5. Seusai karantina, dibuktikan dengan mySOS yang sudah hijau, diharapkan langsung menuju kampus tujuan masing-masing.

_____ Ribet yah bund, nggak juga sih sebenernya karena ini aturannya masih lumayan masuk akal, apalagi demi kebaiikan kita juga kan (walaupun pada akhirnya ada poin yang kulanggar). Untungnya, aku dan Mbak I mendapat kamar di lantai yang sama, yaitu lantai 4. Aku di kamar 430, Mbak I di kamar 425, dan ajaibnya selantai dengan Mas I yang sudah datang terlebih dahulu pagi harinya di kamar 417. Yosh, yaudah langsung cus menuju kamar SENDIRI tanpa ditemani petugas hotel yang membawakan koper. Aku menggesek kartu *pip pip pip, kok LED pintu menunjukkan warna merah, dan kucoba lagi memasukkan kartu kamar ke lubang dan masih sama saja. “Waduh, gawat lur” pikirku karena belum kunjung bisa masuk ke kamar setelah 10x percobaan, dan Mbak I pun juga tampaknya belum bisa masuk kamar. Alhasil, aku turun ke resepsionis di lobby dan bertanya cara membuka pintuunya. “Oooh gitu toh mbak, kartunya dicolok, tunggu 1-2 detik, baru dicabut. Bukan didiemin atau digesek secepat mungkin. Maklum ogut udik nih wkwk” pikirku haha.

_____ Yosh, saatnya masuk kamar, beres-beres, dan rebahan sebentar sambil mengistirahatkan kaki yang sudah pegal setelah 7 jam perjalanan. Sambil rebahan, aku chat Mbak I dan Mas I untuk mengajar mereka makan malam bersama, membeli di Family Mart yang ada di lantai 1 tepat di depan resepsionis. Akhirnya, setelah pukul 8 malam, kami ber3 baru pergi ke Family Mart dan di sanalah mereka berdua bertemu untuk pertama kalinya. Untuk makan malamnya, aku beli natto (1 pack isi 3, 2 lainnya buat dicobain mereka berdua hehe) dan zaru soba (soba dingin dengan shoyu dan parutan lobak). Mas I membeli bento dengan ikan salmon panggang sedangkan Mbak I membeli sandwich isi telur dan onigiri isi tuna. Yok, kumpul di kamar yang agak gedean, yaitu di kamar Mas I (gatau entah kenapa ukurannya rada beda aja, aku dan Mbak I kurang lebih sama).

_____ Sambil makan malam, kami bercengkrama, saling mengobrol seputar kehidupan kampus, hobi, dan rencana ke depan tuk jalani hidup di Jepang. Mbak I ini orangnya keren banget karena sangat berbakat dalam menggambar (gambarnya bagus banget serta punya ciri khas gitu) dan seni rupa, jadi ga heran lah kalau ngambil jurusan yang berkaitan dengan seni dan kurasi di Tokyo University of The Arts (akrab disapa GeiDai). Sedangkan Mas I adalah mahasiswa (menuju) doktoral yang bergelut di bidang kimia, khususnya sintesis dan kimia organik. Dulu ia sempat berkuliah di Thailand untuk jenjang S2 nya, udah gitu minat dan pengetahuannya di bidang kimia ga perlu diragukan lagi top markotopnya. Aku jadi sempat merasa agak-agak sedikit minder mendengar kiprah dan pengalaman mereka di bidang terkait hingga akhirnya terpilih menjadi salah satu penerima beasiswa MEXT di antara 30 orang (dan ngga menutup kemungkinan kalo 27 lainnya juga pada sangat amat smart bin jenius) dibandingkan aku yang mungkin bisa dibilang banyak “bejo”nya. #chin_up_woi!

____ Malam itu kami habiskan dengan banyak ngobrol-ngobrol karena ini mungkin menjadi kesempatan yang superrr jarang, 3 orang bertemu sekaligus dalam naungan karantina sebelum akhirnya berpencar, 1 ke Sendai di utara, 1 di Tokyo yang di tengah, dan 1 di Nagoya yang berada jauh di arah barat Tokyo. Setelah pukul 12 malam, kami kembali ke kamar masing-masing dan saatnya review kamar hehe. Menurutku, kamar hotelnya cukup compact, tidak banyak ruang kosong untuk berkeliling, tidak ada balkon, tidak ada kamar mandi yang aesthetic, tapi cukup untuk sholat, berjalan, nyetrika (ada setrikaan loh), dan mandi dengan fasilitas yang memadai karena lengkap dengan pemanas air, perlengkapan mandi, dan tentunya yang khas Jepang banget yaitu tombol-tombol ajaib.

(FOTO)

Hari Pertama

_____ “Good morning, world!” begitulah ungkapan yang seharusnya terucap setiap pagi, namun sepertinya tidak untukku kali ini karena aku harus terkerangkeng dalam sangkar emas (yang sebenarnya juga ngga dikekang-kekang amat sih). Rutinitas tiap pagi yang harus dijalani selama masa karantina adalah mengisi form kondisi tubuh dan lainnya yang telah disiapkan oleh pihak kampus; terdapat tautan dalam reminder yang dikirimkan secara otomatis tiap pagi. Mungkin akan timbul pertanyaan “ribet amat sih? kepo amat sih?”, eits, tapi sebenarnya pihak kampus tuh udah sangat peduli loh karena untuk biaya karantina di hotel berbintang ini selama 5 hari, sedikitnya aku akan harus merogoh kocek sekitar 70 ribu yen (sekitar 9 juta rupiah, 1 JPY = 130 IDR), jadi untuk menghargai pihak kampus yang sudah berbaik hati ‘mentraktir’ sebanyak itu, masa iya ngisi berkas yang nggak nyampe 5 menit aja malez. Oh iya, perlu diingat bahwa traktiran ini sifatnya sangat tentatif ya, karena ada kampus yang sangat amat baik hati sekali seperti Tohoku University yang membiayai biaya karantina hingga tiket kereta menuju Tokyo dan tiket Shinkansen menuju Sendai. Ada juga kampus yang hanya membiayai sebagian (transportasi atau akomodasinya ajah, dengan persentase yang bervariasi), ada yang tidak sama sekali, ada juga yang dilepas kayak ayam alias harus mengatur sendiri karantina dimana dan gimana ke sananya. Jadi, sekali lagi, terima kasih Tohoku University.

_____ Nah, setelah selesai dengan segala urusan di pagi hari, aku coba menghubungi Mas I dan mbak I untuk sarapan bersama. Namun tampaknya mereka entah masih terlelap atau sedang ada urusan, balasan mereka tak kunjung datang (mungkin mereka bukan pendendam, jadi tak suka membalas, eaaa wkwk). Ya sudah, aku pergi sendiri saja ke konbini untuk membeli sarapan sebelum kelas online pagi dimulai, Aku membeli chicken karaage dengan saus lemon dan susu. “Lah, kok ayam? emangnya halal?” mungkin ada yang berpikir begitu, dan akupun juga sempat begitu dengan diriku sendiri, namun kusadari bahwa dalam kondisi musafir di luar zona nyaman seperti ini, dengan terbatasnya jumlah makanan, apalagi yang “kemungkinan halal” untuk dimakan, sepertinya standar kehalalan harus diturunkan sedikit dengan rukhsah (kelonggaran)

_____ Hari pertama berlanjut dengan makan siang, makan malam, dan seperti biasa kami bertiga “ngariung” saat makan malam untuk lebih mengenal satu sama lain sembari ngobrolin apa aja yang ada di Jepang. Karena aku akan tinggal di daerah Tohoku, alias timur lautnya Jepang yang bagi orang Jepang sendiri itu identik dengan kampung (selain Sendai), jadi aku sepertinya akan banyak bercengkrama dengan alam dan pedesaan. Hal tersebut sangat kontras dengan Mbak I yang akan tinggal di Tokyo, salah satu megapolis terbesar di bumi yang lengkap dengan fasilitas berikut hiruk-pikuk perkotaannya maupun dengan Mas I yang akan tinggal di Nagoya yang merupakan kota terbesar ke-4 di Jepang setelah Tokyo, Osaka, dan Yokohama (gatau kenapa kalau liat ulasan orang seputar Nagoya kayak nanggung dan kurang banyak ciri khasnya selain makanan karena terletak di tengah-tengah Tokyo dan Osaka.

Hari Ke-2

_____ Pretty much the same with the 1st day. Aku mengikuti kuliah online kelas Bahasa Jepangku dengan suasana karantina yang bisa dibilang ehm…. pengen praktik langsung di lapangan tapi apa daya kaki tak bisa melangkah keluar karena masih terkarantina (keluar juga ngga ada apa apa sih, wong di pelosok bandara). Tak banyak yang bisa dilakukan di sini selain aktivitas digital, turun ke lantai 1 untuk jajan dan membeli makan. Jangan lupa, mengisi form kondisi diri dan suhu tubuh yang telah disediakan Tohoku University. Untuk makanannya, nasi dengan toro mentah (daging ikan tuna cincang dari bagian yang rada berlemak) yang kucampur dengan wasabi sehingga rasanya top markotop fresh dan sedapnya.

Hari Ke-3

_____ Nah ini dia hari yang paling mendebarkan (dan banyak drama) karena pada hari ini ada tes PCR menggunakan PCR kit yang diterima pada saat kedatangan kita di hotel. Wah, gimana tuh tata caranya? Pertama, kita dari pagi dilarang mengonsumsi apapun selain air mineral agar tidak ada yang mengontaminasi air liur kita. Kedua, kita diminta untuk meludah ke dalam tabung yang ada hingga garis batas yang ditentukan. Apabila kelebihan, pastikan masih bisa ditutup dengan rapat, apabila kurang (nah ini nih PR) saatnya merogoh tenggorokan lebih dalam untuk meludah. Setelahnya, tutup rapat tabung dan masukkan ke dalam plastik dengan bubble-wrap lalu masukkan ke dalam kardus khusus bersama dengan formulir yang sudah kita isi sebelumnya dan tempelkan label (labelnya sudah ada nama dan nomor registrasi kita). Terakhir, taruh deh di rak lipat yang ada di sebelah pintu masing-masing kamar dan tunggu hingga petugas mengambil box kita.

_____ Dramanya dimana? Nah ini nih, 30 menit setelah aku meletakkan box nya di rak depan kamar, aku baru tersadar kalau aku lupa menempelkan label untuk formulir yang ada di dalam kotaknya. ダバむTrus gimana dong? Aku coba ke resepsionis untuk bertanya apakah kotak uji saliva sudah dibawa pergi oleh petugas klinik dan mbak resepsionisnya menjawab “belum siih mas harusnya, coba ke lantai 8. Seharusnya masih dikumpulkan di lantai 8”. “Oke mbak, terima kasih~” tanpa banyak ragu langsung saja naik lift ke lantai 8 dan ketika keluar lift, aku bertemu dengan mbak berkemeja putih yang bertanya “ada apa mas, mau ngumpulin uji salivanya ya?”. Mendengar pertanyaan tersebut, akupun menjawab kalau aku ingin mengambil kembali kotakku dan menempelkan labelnya. Untunglah masih ada di ruangan beliau, walaupun tertumpuk berserakan dengan kotak dari kamar lainnya. Pada pukul 10, petugas tersebut pergi meninggalkan hotel.

_____ “Alah, itu mah masih belum drama, lebay lu!” . Bukan, itu hanyalah prelude, drama sebenarnya terjadi setelah itu ketika aku ngajak Mas I untuk makan siang. “Mas, udah dikirim kan box salivanya? ngga kesiangan kan bangunnya?” tanyaku. “Udah dong, aku sebelum tidur udah ngeludah, trus taroh deh boxnya di luar. Jadi ngga perlu kesusu bangun pagi-pagi” jawabnya. Aku pun merasa lega, “wih, emang boleh gitu? Yah gapapa lah mungkin. Aku tadi masa ada drama gini mas (menceritakan kedudulanku di atas)”. Mas I pun sontak, “loh emang ada kertas ya?”….. “ADA MAS, sama label juga!” jawabku agak kaget. “Nah loh al, gmn dong…. coba kamu tanyain deh petugas hotel atau kliniknya!” ったく。。。

_____ Setelah bertanya dengan petugas hotel, akhirnya aku mendapat nomor klinik yang mengumpulkan hasil. Setelah kutanya, mereka memberikan respon seakan kotak-kotak tersebut masih belum datang dan diproses. Tak puas dengan respon kliniknya, Mas I memintaku untuk menelpon MHLW (kemenkesnya Jepang). Gawat leur, sampai akhirnya kucoba telpon namun tidak terangkat pada panggilan pertama. Selang beberapa saat, aku mendapat telepon dan langsung kupanggil “Mas, mas, sini buruan ke kamarku! ada telpon nih!!!”. Pada akhirnya aku berperan sebagai penerjemah untuk kasus kocak ini. Aku terheran, petugasnya terheran, semua heran kecuali Mas I karena sebenarnya harusnya tidak apa apa karena pendataan orang yang karantinanya sudah lengkap, jadi tidak perlu khawatir berlebih tentang kurangnya data diri. Pada malam harinya, aku dan Mbak I hanya bisa tertawa sambil membayangkan tragedi kocak yang terjadi hari ini よかった

Hari Ke-4

_____ Sama seperti hari ke-2, hanya melakukan aktivitas yang bisa dilakukan secara daring sembari panik menunggu hasil PCR karena jika positif artinya aku harus menunggu di hotel ini 10 hari lagi. Tapi, buat apa berpikir negatif terlalu lama, kan sudah ikhtiar dan melakukan yang terbaik, daripada bingung, mending berberes-beres siapa tau besok pagi MySOS sudah menunjukkan warna hijau dan aku bisa pergi. Tak lupa, malamnya kami makan malam untuk yang terakhir kali sebelum berpisah. Untuk memperingati hari kemerdekaan dari karantina (semoga negatif yaaa~) kami tak membeli makan dari konbini, melainkan beli makan dari restoran hotel. Memang sih agak mahal, tapi sekali seumur hidup loh kesempatannya. Aku memesan genovese fusilli, Mas I memesan spaghetti bolognese dengan udang, dan Mbak I memesan thai green curry, lengkap dengan pizza margherita untuk dibagi bersama. Sempat agak panik sih karena karyawan hotel mengantarkan segitu banyak makanan untuk 1 kamar…ada apa ini gerangan wkwkwk, yakali karantina berjamaah. Tapi untungnya tidak timbul kecurigaan dari pegawai hotel yang mengantar makanan. Sambil makan, kami sambil mengobrol seputar keinginan dan tujuan selama dan setelah belajar di Jepang (mencoba visioner nih ) *semoga terwujud 🙂

_____ Bagaimana dengan hari terakhirnya? Gimana hasil tes PCRnya? Mari simak kelanjutannya di postingan selanjutnya!

぀づく

Leave a comment

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑